Negara Beli Teknologi, Sekolah 3T Tak Bisa Memakai

Keadilan pendidikan wilayah 3T.
📸 Eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim [rompi oren]

Jakarta, detik45.com — Program digitalisasi pendidikan kembali diuji di ruang sidang. Jaksa Penuntut Umum menilai pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi gagal menjangkau sekolah di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Perangkat yang dibeli negara dinilai tak berfungsi optimal karena bergantung pada jaringan internet yang belum merata.

Ketua Tim JPU Roy Riady mengatakan kebijakan pengadaan tersebut dijalankan tanpa kajian kebijakan yang memadai. “Program ini tidak disusun berdasarkan analisis komprehensif dan tidak merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024 yang menempatkan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai prioritas,” ujarnya, Selasa, 23 Desember 2025 dalam persidangan.

Menurut jaksa, digitalisasi pendidikan seharusnya dirancang sebagai alat pemerataan mutu pembelajaran, terutama bagi sekolah dengan keterbatasan fasilitas dasar. Namun, pemilihan Chromebook justru dinilai tidak relevan dengan kondisi lapangan. Perangkat itu membutuhkan koneksi internet stabil, sementara akses jaringan di banyak wilayah 3T masih terbatas.

“Di sejumlah daerah, laptop yang sudah dibeli tidak dapat digunakan secara optimal dalam kegiatan belajar-mengajar,” kata Roy.

Jaksa menilai situasi tersebut berdampak langsung pada keuangan negara. Anggaran publik telah dikeluarkan untuk perangkat yang tidak berfungsi sesuai tujuan, terutama di sekolah wilayah 3T. “Barang dibeli menggunakan uang negara, tetapi fungsinya tidak berjalan sebagaimana tujuan awal,” ujar Roy.

Dalam persidangan, jaksa juga menyinggung kualitas sumber daya manusia sebagai dampak kebijakan. Data rata-rata intelligence quotient (IQ) anak Indonesia pada 2022 yang berada di kisaran angka 78 digunakan sebagai salah satu parameter untuk menilai bahwa tujuan peningkatan kualitas pendidikan belum tercapai. “Data tersebut kami gunakan untuk melihat hasil kebijakan digitalisasi pendidikan,” kata Roy.

Jaksa berpendapat program digitalisasi pendidikan pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat itu tidak berhasil mendorong peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di wilayah 3T. Ketidakhadiran kajian kebijakan serta ketidaksesuaian antara desain program dan kondisi riil sekolah disebut menjadi akar persoalan.

Dalam perkara ini, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim bersama sejumlah pihak didakwa menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,1 triliun, yang dikaitkan dengan kebijakan pengadaan teknologi pendidikan yang dinilai salah sasaran. Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Nadiem menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019–2021, lalu melanjutkan sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi hingga 2024. Sidang pembacaan dakwaan terhadap dirinya dijadwalkan berlangsung pada awal Januari 2026 setelah sempat tertunda karena alasan kesehatan pascaoperasi.

Majelis hakim juga memerintahkan jaksa membacakan dakwaan terhadap tiga terdakwa lain, yakni Ibrahim Arief, mantan konsultan teknologi di lingkungan kementerian; Mulyatsyah, Direktur SMP sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran periode 2020–2021; serta Sri Wahyuningsih, Direktur Sekolah Dasar dan Kuasa Pengguna Anggaran pada periode yang sama.

Program digitalisasi yang dirancang sebagai jalan pintas pemerataan pendidikan itu kini justru memperlihatkan jarak antara perencanaan kebijakan dan kenyataan sekolah di daerah tertinggal.[ril]

 

Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto? Silakan SMS ke 0821 7241 8111 / 0852 7850 2555 via EMAIL: redaksidetik45@gmail.com (mohon dilampirkan data diri Anda)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*